Mentari mulai terlelap dalam buai lembut awan, terlelap dalam alunan kidung angin sore ketika aku melangkahkan kaki ku menaiki tangga kereta perpisahan. Sebersit bayangan melambaikan tangan, senyum nya tampak mengembang. Tapi bukan senyumnya ataupun lambaian tangannya yang membuat langkahku terhenti. Butiran butiran air mata nya yang terjatuh dan berkilauan terkena senja lah yang memberatkan langkahku. Tenggorokanku tercekat terikat tak mampu untuk melontarkan sedikit pun suara ataupun kata-kata untuk menghiburnya.
"Aku harus pergi" hanya bisik dalam hatiku yang telah berlubang demikian besarnya lah yang akhirnya yang mampu bersuara. Tanpa ku sadari, lelehan air kesedihan pun mengalir dari mata ku, mengaburkan sosok dirinya yang terus saja melambaikan tangannya.Perlahan dengan kekuatan yang tersisa kuangkat kaki ku untuk melangkah ke tempat yang telah engkau janjikan.
Dari balik jendela suram itu, aku mengetahui engkau terus saja masih menangisiku walaupun dalam telepon mu engkau berusaha tampak biasa saja, tapi getar pita suaramu tak kan mampu membohongiku. Masih dapat ku lihat samar kilauan air mata mu terjatuh, menggenang dalam hatiku. Memantulkan semua kenangan mu bersama ku. Mengingatkan ku akan dunia yang yang telah kita rajut bersama selama ini. Dunia yang kita mulai dari selembar kertas foto bertuliskan teka teki. Bayangan kenangan berkelabat satu demi satu sampai tiba-tiba terguncang buyar oleh laju kereta. Kulihat dirimu berlari mengikuti jendela samping, berusaha untuk tetap melihatku dengan senyummu seolah berusaha memotret wajah ku dalam hatimu untuk yang terakhir kalinya. Tak tega ku melihat mu beberapa kali terjatuh dan bangkit untuk terus berusaha melihatku, ku ayunkan kaki ku, berlari, menuju pintu, setidaknya agar engkau mampu melihat ku dengan lebih jelas dan aku pun sebenar benarnya ingin terus melihat wajahmu.
Kereta perpisahan yang tak kenal belas kasih terhadap dua insan terus saja melaju membuat jarak diantara kita semakin tak terkejar oleh langkah kakimu. Bayanganmu semakin lama semakin mengecil sampai ku tak mampu melihatmu lagi. Ku sandarkan tubuhku di pojok pintu, menangis bak anak kecil kehilangan permen, memukul apa pun yang ada bak seorang gila. Hanya rasa lelahlah yang akhirnya mampu membuatku tertidur terlelap di sudut pintu itu di buai goyang laju dan nyanyian kereta perpisahan. Menyisakan sunyi dan kehampaan.
No comments:
Post a Comment